Jatuh dan Bangkit: Bagaimana sEntra Memulihkan Diri dari Sanksi Pembatasan Kegiatan

DSC5237
Foto ilustrasi kerja pers mahasiswa dalam menyuarakan keresahan meski di tengah represifitas yang terjadi. (Virliya Putricantika/Bandungbergerak.id)

Jatuh dan Bangkit: Bagaimana sEntra Memulihkan Diri dari Sanksi Pembatasan Kegiatan

 

sEntra – Nindi Ayu Riski masuk ke Universitas Widyatama sebagai mahasiswi angkatan 2016 dan mengetahui sEntra dari acara pengenalan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Ketika itu dia tidak mengetahui bahwa sEntra adalah UKM yang berfokus pada bidang jurnalistik. Yang dia tahu, sEntra berurusan dengan aktivitas tulis-menulis.

Bacaan Lainnya

 

“Nah memang pada dasarnya suka nulis, jadi aku tuh memang cari yang tulis-menulis aja. Mikirnya tuh, awalnya tuh kirain sEntra bukan pers. Mikirnya kayak sastra Indonesia gitu,” ujar Nindi yang menjabat Pimpinan Umum sEntra tahun 2018,  lewat Google Meet, Senin, 24 Juli 2023 siang.

 

Setelah acara tersebut, Nindi dan empat orang lainnya yang menjadi anggota baru sEntra berkumpul di ruang sekretariat yang dulunya berada di Gedung F. Ketika bercengkerama dengan anggota sEntra, barulah Nindi tahu bahwa memang sEntra merupakan UKM pers. Jauh berbeda dari apa yang dia bayangkan sebelumnya.

 

Nindi mengungkapkan bahwa kegiatan sEntra pada saat itu hanya berkisar pada pembuatan majalah dinding (mading) tidak berkonsep yang memuat puisi dan cerpen (cerita pendek). Tidak ada berita yang kritis. Dari Dina, Pemimpin Umum 2014 yang menjabat di tahun ketika Nindi masuk sEntra, Nindi memperoleh sedikit cerita tentang bagaimana pers mahasiswa ini divakumkan pada tahun 2013 akibat permasalahan dengan Bramatala, unit kegiatan mahasiswa pecinta alam.

 

Seperti apa kronologi kejadian satu dasawarsa lalu itu tak kunjung terang sampai sekarang. Fathiya, Pimpinan Umum sEntra periode 2022-2023, menyebut bahwa banyak alumni juga tidak mengetahui bagaimana persisnya kasus yang melibatkan sEntra dan Bramatala.

 

“Jadi memang kayaknya ditutup-tutupin. Maksudnya kayak udahlah itu mah cerita lama, kata mereka. Mungkin kayak biar udah kita mah buka lembaran baru aja,” ujar Fathiya saat ditemui di ruang sekretariat sEntra, lantai tiga Gedung PKM, Universitas Widyatama, Senin (24/07/2023) siang.

 

Alasan sEntra divakumkan baru diketahui Nindi saat bertemu dengan Vanya, salah satu alumni sEntra angkatan 2013. Dikisahkan, sebagai dua UKM tertua di Widyatama, sEntra dan Bramatala memiliki hubungan yang sangat erat. Bahkan saat ruang sekretariat masih berada di Gedung F, kedua ruangan UKM itu bersebelahan dengan luas ruangan lebih dari kamar kos-kosan.

 

Semua berubah ketika pada tahun 2013, peristiwa nahas terjadi ketika Bramatala mengadakan kegiatan DIKLATSAR di Ranca Upas. Salah seorang peserta diklat meninggal dunia. Informasi ini sesuai dengan apa yang dilansir media daring Liputan6.com pada tanggal 25 November 2013: salah satu peserta kegiatan diduga dianiaya. sEntra sebagai pers kampus membuat pemberitaan mengenai peristiwa itu, yang kemudian ternyata berdampak luas.

 

Selain menarik media massa luar untuk juga meliput kasus tersebut, pemberitaan sEntra mengundang tekanan dari berbagai pihak. Para pengurus dan anggota Bramatala merasa sEntra telah menikam mereka dari belakang. Melihat pemberitaan ‘negatif’ ini terus meluas, pihak kampus akhirnya memutuskan untuk menonaktifkan UKM Bramatala dan membatasi kegiatan pers sEntra agar tidak lagi menerbitkan pemberitaan yang mengancam nama baik kampus.

 

Nindi bercerita, anggota sEntra ketika itu berada dalam posisi tidak berdaya. Apalagi beberapa angkatan alumni juga marah dengan pemberitaan yang dihasilkan sEntra. Mereka memprotes keras angkatan 2013: “kenapa beritain Bramatala kayak gitu?”

 

“Jadi si angkatan 2013 itu enggak ada penopang hiduplah, gak ada yang ngebela gitu. Bener-bener harus gimana lagi dong,” kata Nindi.

 

Tindakan represif terhadap LPM sEntra kembali terjadi pada tahun 2017. Nindi ketika itu menjabat menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred). sEntra, dengan Farel sebagai Pemimpin Umum, sedang berusaha untuk kembali bangkit dengan  memproduksi majalah, buletin, dan karya-karya lainnya. Salah satu reportase yang kemudian disepakati oleh awak redaksi adalah pelanggaran aturan kawasan merokok oleh para mahasiswa. Setelah berita itu tayang, Nindi dipanggil ke ruangan Biro Kemahasiswaan.

 

“Pas abis nerbitin satu berita, aku dipanggil sama biro karena “kenapa bikin kayak gini?” Aku jawab “iya pak karena kita melihat dari mahasiswa gini-gini banyak yang komen segala macem” aku jelasin,” ucap Nindi.

 

Pihak Biro Kemahasiswaan lantas meminta agar setiap berita yang akan diterbitkan sEntra harus melewati persetujuan mereka. Dalam pertemuan itu, Nindi berpegang pada keyakinan bahwa kerja dan produk pers tidak seharusnya berada di bawah naungan siapa pun. Justru pers-lah yang memiliki tugas untuk mengawasi kampus.

 

Selain artikel tentang kawasan merokok, berita “Jawaban 5×24 Jam: Presiden Mahasiswa Terancam Digulingkan.” dan “Huru-Hara Penggulingan Pema: Tindakan Solutif atau Tidak?” yang tayang di website dan akun Instagram sEntra masing-masing pada 9 Maret 2023 dan 15 Maret 2023 juga membuat beberapa pihak keberatan. Polemik antara Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) dan Pemerintahan Mahasiswa (PEMA) pada saat itu terjadi karena banyak keluhan perihal kinerja Pema yang buruk. sEntra selaku media informasi kampus tentu meliput hal tersebut dan ikut serta dalam rapat konsolidasi yang diadakan oleh PEMA. Ketika artikel dan opini tayang, kedua belah pihak menyatakan kekecewaannya. Masing-masing dari mereka menilai artikel berat sebelah.

 

“PEMA-nya sendiri ya ada bilang juga sih kek, “kok ini kayak menyudutkan Pema yah?” Terus ada juga dari MPM-nya sampai marah-marah gitu “kok sEntra kayak gitu?” karena di benaknya itu kalau misalkan memberitakan yang jelek-jelek tentang mereka berarti kalian tuh pro PEMA. Kalau misalkan kalian menjelekkan PEMA, berarti pro MPM,” kata Fathiya

 

Berbagai insiden yang mendera sEntra tidak sampai berujung pada ancaman pencabutan berita atau keretakan komunikasi dengan Biro Kemahasiswaan kampus. Menurut Fathiya, kunci kerja sEntra sebagai lembaga pers kampus adalah melakukan reportase langsung dan penayangan apa yang terjadi secara transparan.

 

 

Imbas Buruk Pembatasan Kegiatan

Sanksi pembatasan kegiatan tentu saja berimbas dalam kehidupan berorganisasi. Sebagai unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang sudah eksis sejak lama, sEntra seharusnya sudah memiliki ‘nama’ di kalangan civitas Widyatama dan di antara Lembaga Pers Mahasiswa lainnya.

 

Nindi menceritakan pengalamannya mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Menengah (PJTM) bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung di Cigondewah. Ketika LPM-LPM lain menyodorkan masalah yang mereka hadapi, dia hanya menjawab ‘tidak ada’ karena memang belum diberi tahu alasan sebenarnya mengapa sEntra sempat vakum.

 

“Jadi para pers di luar tuh gak tahu sama sekali. Kayak ‘Oh sEntra masih ada?’” tutur Nindi.

 

Kehilangan nama bukanlah satu-satunya imbas sanksi pembatasan kegiatan. Dipaksa vakum, sEntra kehilangan perannya sebagai pers mahasiswa. Kiprah LPM ini terbatas pada kegiatan tulis-menulis puisi atau cerpen yang dipajang di mading kampus. Kegiatan meliput dan menerbitkan berita tidak berjalan. UKM sEntra tidak bisa mengambil posisi kritis terhadap isu kampus.

 

Sanksi pembatasan juga berdampak ke pengelolaan organisasi. Ketika Nindi masuk pertama kali ke sEntra, struktur organisasinya jauh dari rapih. Memang sudah ada pemimpin umum, pemimpin redaksi, dan divisi redaksi serta desain, tetapi semua posisi tidak ditetapkan secara resmi dan jatuhnya seperti perkumpulan orang-orang yang menulis dan mendesain.

 

Hega, Pemimpin Redaksi sEntra tahun 2021, menyebut dampak buruk lain sanksi pembatasan kegiatan, yakni pengarsipan yang sangat tidak memadai. Banyak dokumen surat-menyurat atau kegiatan administratif lain hilang dan mesti dibuat kembali.

 

“Tapi untungnya dokumen AD-ART sih masih ada, dulu yang 2010 terakhir kalau nggak salah,” tutur Hega lewat Google Meet pada Minggu (23/07/2023) sore.

 

 

Terjadi di Kampus-kampus Lain

Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB) mencatat total 38 Lembaga Pers Mahasiswa di kawasan Bandung Raya. Tidak hanya sEntra, tindak represi pun  nyatanya dialami oleh banyak LPM lain di berbagai kampus. Pelakunya beragam, mulai dari sesama mahasiswa, organisasi mahasiswa, pejabat kampus, hingga pihak eksternal kampus serta aparat.

 

 

Merujuk hasil survei yang dihimpun secara kolaboratif oleh Bandungbergerak.id dan enam LPM di Bandung Raya pada Mei-Juni 2023 lalu, tercatat total 34 kasus kekerasan yang menimpa pers mahasiswa di Bandung Raya dalam rentang waktu 10 terakhir. Dari 34 kasus tersebut, teridentifikasi sejumlah 61 tindak represi dalam berbagai macam bentuk.

 

 

Pengkategorian pelaku tindak represif ini, pada peringkat pertama adalah pihak-pihak di lingkungan kampus, termasuk di dalamnya pejabat dan staf kampus sampai organisasi mahasiswa lain. Pejabat kampus menjadi pelaku tindak kekerasan terbanyak dengan jumlah sembilan kasus, disusul mahasiswa dan organisasi mahasiswa yang masing-masing berjumlah tujuh kasus. Sementara itu, staf kampus tercatat menjadi pelaku terhadap enam kasus tindak represif terhadap pers mahasiswa.

 

Ahmad Fauzan Sazli, Koordinator Divisi Advokasi Ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menyatakan bahwa sebenarnya masih ada kasus-kasus kekerasan lain yang belum tercatat. Meski demikian, ia mengapresiasi upaya ini sebagai bekal penting dalam langkah mitigasi di masa yang akan datang sesuai dengan kepatuhan terhadap kode etik dalam setiap kerja reportase.

 

“Mitigasi pertama yang dapat dilakukan oleh temen-temen adalah mematuhi kode etik jurnalistik, selanjutnya adalah temen-temen harus memahami liputannya dimana, temen-temen harus memahami situasi di lapangan. Mulai dari id card, style-nya, helm, dan sebagainya. Jadi riset dulu mau liputan dimana, resikonya seperti apa,” Ucapnya di Sekretariat AJI Bandung pada Jumat, 21 Juli 2023 lalu.

 

AJI Bandung dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, mendorong berbagai LPM di kawasan Bandung Raya untuk memperkuat jejaring, tidak hanya dengan sesama organisasi persma, tetapi juga dengan organisasi-organisasi luar kampus dengan visi yang sama. Jejaring yang kuat ini dapat menajdi bekal penting untuk mengantisipasi tindak kekerasan serta ketika menajalani tahapan advokasi.

 

 

Asalkan Lapor

Kepala Biro Kemahasiswaan Universitas Widyatama Muchammad Fauzi mengaku tidak mengetahui informasi tentang sanksi penonaktifkan kegiatan sEntra terkait kasus pemberitaan Bramatala. Ia menegaskan bahwa pihaknya tidak mempermasalahkan pers mahasiswa, khususnya sEntra, untuk memberitakan isu-isu yang berkaitan dengan kampus. Meski demikian, ia berpesan agar dalam meliput isu sensitif, media sebaiknya turut memikirkan dampaknya bagi universitas.

 

“Kalau saya, sih, lebih berhati-hati dalam melakukan publikasi karena dampaknya panjang,” ujar Fauzi ketika ditemui di ruang kerjanya, Kamis (10/08/23) sore.

 

Tentang kerentanan pers mahasiswa ketika meliput isu yang menyangkut pihak-pihak di luar kampus, seperti aparat maupun ormas, Fauzi memastikan persma, dalam hal ini sEntra, akan mendapatkan perlindungan dari Biro Kemahasiswaan selama ada pelaporan dan perizinan untuk meliput terlebih dahulu.

 

“Selagi itu melaporkan ke kita, saya mah (biro) siap membantu,” ucapnya.

 

 

Bangkit dan Bergerak Maju

Pertemuan dengan kawan-kawan persma yang lain membuat Nindi tersadar bahwa peran sEntra sebagai pers mahasiswa perlu segera dibangkitkan. Menjabat pemimpin redaksi tahun 2017, bersama Farel yang menjabat pimpinan umum, dia mulai menyusun visi, misi, dan program kerja sEntra. Salah satu kegiatan yang menjadi tonggak upaya bangkit kembali ini adalah Widyatama Business and Journalism Festival (WBJF) atau sekarang lebih dikenal sebagai Widyatama Journalism Festival (WJF) yang pertama kali digulirkan pada tahun 2018.

 

“Dari situ mereka (LPM-LPM lain) jadi kenal dan pada ikut (jadi peserta festival). Jadi mereka juga ikut memasarkan lah ya, saling follow,” ujar Nindi.

 

Pelaksanaan festival juga berdampak positif pada kekompakan dan kepercayaan diri para anggota sEntra. Mereka menjad lebih berani dalam membuat berita mengenai isu-isu yang beredar di dalam kampus. Bahkan para anggota mulai mau mencari tahu sendiri mengenai isu yang ingin mereka angkat. Ketika menjabat sebagai Pimpinan Umum tahun 2018, Nindi mulai membenahi sistem struktur organisasi internal sEntra.

 

Sejak momen itulah, sEntra terus tumbuh. Di setiap periode kepengurusan, selalu ada perbaikan-perbaikan yang dilakukan. Namun, bukan berarti tidak ada kekurangan yang harus ditambal. Hega, pemimpin redaksi sEntra tahun 2021, misalnya, menyoroti pentingnya peningkatan kapasitas kejurnalistikan para anggota.

 

Fathiya, pemimpin umum sEntra tahun 2022, memberi sorotan pada sistem kaderisasi yang masih harus dibenahi. Dia bercermin dari kaderisasi LPM lain yang mencakup pelatihan dan juga sistem magang. Peningkatan kapasitas anggota dan pembenahan sistem kaderisasi ini diyakini bakal berperan signifikan dalam menghadapi potensi tindak represif yang mungkin terjadi di masa mendatang.

 

“Selama kita benar, selama kita mengikuti kode etik jurnalistik, terus berita yang kita terbitkan itu (juga) valid, jangan takut,” tutur Fathiya. “Kita punya hak asasi manusia, kita juga punya hak sebagai jurnalis untuk memberitakan kebenaran.”

 

 

 

Penulis: Salma Nur Fauziyah dan Zelika Salsabila Insyra/sEntra

Editor: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id, Wulandini Rahmah Syaripyani/sEntra

 

Berita ini merupakan hasil liputan kolaboratif bersama BandungBergerak.id, LPM Aksara (Telkom University), LPM Jumpa (Universitas Pasundan), LPM DJatinangor (Universitas Padjadjaran), BPPM Pasoendan (Universitas Pasundan), LPM Suaka (UIN Sunan Gunung Djati) dan PKM sEntra (Universitas Widyatama dalam rangkaian program #PersmaMasihRentan. Program peliputan ini didukung oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN)

Pos terkait